Cuitan analis politik Somalia, Elham Ishmael, memicu perbincangan luas di media sosial setelah ia mengulas secara terbuka realitas politik klan/marga di balik proyek Somaliland. Dalam cuitannya, Ishmael menyebut bahwa apa yang disebut sebagai negara Somaliland pada praktiknya hanyalah proyek satu klan yang dibungkus narasi kenegaraan. Pernyataan ini segera menjadi viral karena dianggap menyingkap persoalan yang selama ini dihindari dalam diskursus internasional.
Menurut Ishmael, klaim Somaliland atas wilayah utara Somalia tidak pernah didasarkan pada konsensus semua klan yang hidup di kawasan tersebut. Ia menegaskan bahwa setidaknya empat klan besar mendiami wilayah utara Somalia dengan pola pemukiman yang saling bertumpang tindih, tanpa batas teritorial adat yang jelas. Dalam kondisi itu, satu klan tidak memiliki legitimasi untuk mengatasnamakan seluruh kawasan.
Cuitan tersebut secara implisit merujuk pada dominasi klan Isaaq dalam struktur politik dan pemerintahan Somaliland. Sejak kemenangan Somali National Movement pada awal 1990-an, Isaaq menjadi poros utama kekuasaan di Hargeisa dan Burco. Institusi negara, militer, hingga birokrasi sebagian besar berada di bawah kendali elite klan tersebut.
Ishmael juga menyinggung fakta bahwa di luar dua kota utama itu, pengaruh pemerintahan Somaliland melemah secara signifikan. Ia menyebut banyak wilayah yang hanya eksis dalam peta politik, tetapi tidak dalam kontrol nyata di lapangan. Hal inilah yang membuatnya menyebut proyek tersebut sebagai fantasi politik.
Wilayah barat Somaliland, khususnya Awdal, menjadi contoh paling jelas dari keterbatasan itu. Kawasan ini didominasi klan Gadabuursi atau Samaroon yang secara historis memiliki hubungan politik sendiri dan tidak sepenuhnya tunduk pada otoritas Hargeisa. Ketegangan terkait pelabuhan Zayla menunjukkan bahwa kontrol Somaliland atas pesisir barat masih diperdebatkan.
Di bagian timur, situasinya bahkan lebih kompleks. Wilayah Sool, Sanaag timur, dan Togdheer timur dihuni klan Dhulbahante dan Warsangeli yang secara terbuka menolak separatisme. Konflik di Laascaanood dan kemunculan administrasi SSC-Khaatumo memperlihatkan penolakan keras terhadap klaim Somaliland.
Elham Ishmael menekankan bahwa realitas ini membuat luas wilayah Somaliland jauh lebih kecil dari yang sering diklaim dalam propaganda politiknya. Ia menyebut bahwa kontrol efektif pemerintahan hanya bertahan di zona inti Isaaq, sementara wilayah lain bersifat simbolik atau diperebutkan.
Cuitan tersebut juga menggarisbawahi konflik internal antar subklan Isaaq sendiri. Meski satu klan-besar, persaingan politik antara Habr Awal, Habr Je’lo, Habr Yunis, dan Eidagale kerap menciptakan instabilitas internal. Situasi ini menurut Ishmael melemahkan klaim bahwa Somaliland memiliki stabilitas politik yang solid.
Dalam konteks regional, pandangan Ishmael sejalan dengan sikap negara-negara kunci Timur Tengah. Arab Saudi secara konsisten menolak pengakuan Somaliland karena memandang Somalia sebagai satu entitas kedaulatan. Riyadh khawatir pengakuan separatisme akan menciptakan preseden berbahaya di dunia Arab dan Afrika.
Mesir juga mengambil posisi serupa, terutama karena kepentingan geopolitik di Laut Merah. Kairo tidak menginginkan munculnya entitas baru yang berpotensi mengubah keseimbangan keamanan maritim. Dukungan terhadap Somalia yang bersatu menjadi bagian dari strategi Mesir menahan fragmentasi kawasan.
Turki, yang memiliki keterlibatan besar di Somalia, bahkan lebih tegas. Ankara telah berinvestasi dalam infrastruktur, pelatihan militer, dan lembaga negara Somalia. Mengakui Somaliland akan merusak seluruh arsitektur kebijakan Turki di Tanduk Afrika.
Ketiga negara tersebut melihat persoalan Somaliland bukan sebagai isu demokrasi lokal, melainkan persoalan fragmentasi berbasis klan. Bagi mereka, masalah utama bukan hak menentukan nasib sendiri, tetapi ketiadaan konsensus nasional dan keberlanjutan konflik horizontal.
Dalam pandangan diplomatik, Somaliland juga dinilai tidak memenuhi syarat kenegaraan karena tidak memiliki kontrol teritorial menyeluruh. Fakta bahwa sebagian wilayahnya secara aktif menolak pemerintahan Hargeisa menjadi hambatan besar menuju pengakuan internasional.
Cuitan Ishmael memperkuat narasi bahwa internasionalisasi isu Somaliland sering mengabaikan dinamika lokal. Peta politik yang dipresentasikan dalam forum global kerap tidak mencerminkan realitas klan di lapangan.
Ia juga menyinggung bahwa pemilu lokal di Somaliland tidak pernah diawasi secara luas di wilayah sengketa. Aktivitas politik internasional hampir selalu berhenti di Burco dan Hargeisa, menandakan keterbatasan akses dan legitimasi.
Menurut Ishmael, inilah alasan mengapa komunitas internasional bersikap dingin terhadap pengakuan. Negara-negara besar memahami bahwa pengakuan atas proyek satu klan berisiko memperluas konflik di Somalia utara.
Pandangan ini mendapat dukungan dari banyak warga Somalia yang melihat Somaliland sebagai enclave politik, bukan negara de facto. Mereka menilai narasi stabilitas sengaja diperbesar untuk menutupi persoalan struktural.
Di sisi lain, elite Somaliland terus mendorong diplomasi internasional dengan mengklaim keberhasilan tata kelola. Namun kritik Ishmael menunjukkan bahwa keberhasilan tersebut tidak merata dan tidak inklusif.
Perdebatan ini menandai semakin terbukanya diskusi soal politik klan di Somalia. Isu yang dulu dianggap sensitif kini mulai dibicarakan secara terbuka oleh akademisi dan analis.
Cuitan Elham Ishmael akhirnya menjadi pengingat bahwa di Somalia, negara dan klan tidak pernah benar-benar terpisah. Tanpa rekonsiliasi lintas klan, proyek kenegaraan apa pun akan terus menghadapi krisis legitimasi.
Di tengah dinamika itu, masa depan Somaliland tetap berada di persimpangan. Antara melanjutkan narasi separatisme, atau menghadapi realitas bahwa tanpa dukungan barat dan timur, klaim kenegaraan mereka tetap rapuh di mata dunia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar