Di balik peta dunia resmi yang dihiasi oleh negara-negara berdaulat, terdapat entitas-entitas politik bayangan yang hidup dalam ketegangan geopolitik. Mereka dikenal sebagai proto-state, wilayah yang menguasai dirinya sendiri secara de facto tanpa pengakuan penuh dari komunitas internasional. Meski tak duduk di kursi PBB atau memiliki hubungan diplomatik formal, proto-state ini saling menjalin kerja sama lintas batas demi bertahan hidup. Relasi antar mereka berkembang diam-diam, membangun jaringan rahasia di tengah konflik dan kekosongan kekuasaan.
Di kawasan Kaukasus dan Eropa Timur, proto-state seperti Abkhazia dan Ossetia Selatan di Georgia menjalin hubungan erat dengan Republik Donetsk dan Lugansk di Ukraina Timur. Empat wilayah ini sama-sama muncul di tengah konflik bersenjata dan ketegangan geopolitik yang melibatkan Rusia dan negara-negara Barat. Meski terpisah jarak ribuan kilometer, mereka saling mengakui eksistensi satu sama lain sebagai negara merdeka. Pengakuan tersebut menjadi fondasi awal bagi relasi politik dan militer yang lebih erat.
Kerja sama antar proto-state di kawasan itu tidak sekadar simbolis. Abkhazia dan Ossetia Selatan menjalin perjanjian pertahanan bersama dengan Donetsk dan Lugansk. Beberapa kali perwakilan mereka bertemu dalam forum-forum tidak resmi, membahas koordinasi keamanan serta pertukaran informasi intelijen. Selain itu, ada aktivitas ekonomi terbatas, seperti barter logistik dan suplai barang yang tidak bisa diakses melalui jalur resmi akibat sanksi internasional.
Rusia memegang peranan penting sebagai patron dalam jejaring tersebut. Selain memberi perlindungan militer dan dukungan ekonomi, Moskow memfasilitasi kerja sama antar proto-state itu sebagai bagian dari strategi geopolitik untuk menekan Barat. Mereka menjadi benteng kepentingan Rusia di wilayah strategis Kaukasus dan Donbas, sekaligus model bagaimana proto-state bisa bertahan dan bahkan berkembang dalam isolasi internasional.
Sementara itu, di belahan dunia lain, tepatnya di Timur Tengah dan Tanduk Afrika, pola serupa juga terjadi. Houthi di Yaman Utara dan pemerintahan Al-Shabaab di Somalia menjalin relasi tak resmi dalam bidang militer dan logistik. Keduanya bukan sekadar milisi bersenjata, tapi proto-state yang menguasai wilayah dan menjalankan pemerintahan de facto. Dalam situasi perang berkepanjangan, kerja sama menjadi jalan bagi mereka untuk mempertahankan eksistensi.
Berbeda dari proto-state di Kaukasus dan Donbas yang memiliki relasi politik formal, Houthi dan Al-Shabaab beroperasi secara rahasia. Hubungan mereka berfokus pada pertukaran senjata, pelatihan militer, serta jalur penyelundupan logistik. Informasi ini beberapa kali terungkap dalam laporan badan intelijen regional dan PBB, meskipun para pihak terkait selalu membantah adanya hubungan resmi.
Di kawasan Laut Merah dan Horn of Africa, kerja sama semacam itu sangat berisiko karena ancaman operasi militer dari koalisi internasional. Houthi, yang didukung Iran, dan Al-Shabaab, yang menguasai sebagian wilayah Somalia, menyadari pentingnya berbagi informasi intelijen serta jalur penyelundupan di wilayah perbatasan. Situasi ini menjadikan mereka saling bergantung, meski berasal dari latar belakang ideologi dan mazhab yang berbeda.
Meski kerja sama antar proto-state di Yaman dan Somalia bersifat taktis dan praktis, pola yang terbentuk tetap menunjukkan fenomena global. Proto-state di berbagai belahan dunia, meski lahir dari konflik lokal, terhubung dalam jaringan bawah tanah yang bersifat survivalis. Mereka memanfaatkan segala potensi untuk bertahan hidup, termasuk membangun relasi dengan proto-state lain yang mengalami nasib serupa.
Jika Abkhazia dan Ossetia Selatan bisa mengirim utusan ke Lugansk dan Donetsk untuk merundingkan isu politik, maka Houthi dan Al-Shabaab mengandalkan jalur komunikasi rahasia via pelabuhan gelap dan hutan perbatasan. Bentuk kerja samanya berbeda, tapi tujuan utamanya sama: mempertahankan eksistensi dan memperkuat posisi di wilayah masing-masing.
Abkhazia dan Ossetia Selatan bahkan memiliki kesepakatan resmi tentang pertahanan dan keamanan bersama dengan Donetsk dan Lugansk. Mereka beberapa kali merilis pernyataan bersama yang menegaskan solidaritas antar sesama "negara merdeka" yang tertindas oleh kekuatan besar. Di sisi lain, Houthi dan Al-Shabaab tidak pernah membuat deklarasi semacam itu, karena eksistensi mereka lebih tergantung pada operasi rahasia dan kemampuan bertahan di medan perang.
Dukungan dari negara sponsor menjadi pembeda paling mencolok di antara dua model kerja sama ini. Proto-state di Kaukasus dan Donbas mendapat dukungan langsung dari Rusia, baik secara militer maupun diplomatik. Sementara di Laut Merah dan Somalia, Houthi mendapat bantuan dari Iran, sedangkan Al-Shabaab lebih mandiri, meski dikelilingi pesaing lokal.
Dalam banyak hal, hubungan antar proto-state juga ditentukan oleh kondisi geopolitik regional. Kaukasus dan Donbas relatif lebih kondusif untuk relasi terbuka antar proto-state karena keterlibatan Rusia yang kuat. Sementara itu, di Yaman dan Somalia, situasi sangat berbahaya karena kehadiran pasukan koalisi internasional, operasi drone, dan persaingan antar faksi lokal yang brutal.
Namun, meskipun kondisi berbeda, benang merah yang sama tetap terlihat. Proto-state cenderung mencari sekutu di luar batas wilayah mereka demi meningkatkan peluang bertahan hidup. Bahkan jika itu berarti menjalin aliansi dengan kelompok berlatar belakang ideologi berbeda, selama kepentingan mereka sejalan dalam jangka pendek.
Jejaring kerja sama antar proto-state ini menjadi fenomena yang semakin menonjol dalam dekade terakhir, seiring meningkatnya jumlah konflik internal dan perang saudara di berbagai belahan dunia. Isolasi dari dunia internasional justru mendorong mereka membentuk komunitas bawah tanah yang saling bergantung, baik untuk suplai senjata, informasi, maupun akses ekonomi ilegal.
Pengamat geopolitik menilai, jika tren ini terus berlanjut, dunia akan menghadapi bentuk kerja sama semi diplomatik baru berupa koalisi antar proto-state lintas kawasan. Situasi ini akan mempersulit upaya mediasi damai dan operasi militer konvensional, karena jaringan proto-state lebih fleksibel, tersembunyi, dan tak terikat aturan internasional.
Di masa depan, bisa jadi relasi antar proto-state ini berkembang tidak hanya di bidang militer, tetapi juga logistik, teknologi, bahkan perdagangan ilegal. Ancaman yang ditimbulkan dari jejaring semacam ini bukan hanya bagi negara induk mereka, tetapi juga stabilitas kawasan secara luas.
Meski kerja sama antar proto-state seperti Houthi dan Al-Shabaab belum seformal yang dilakukan Abkhazia dan Donetsk, pola persekutuan ini menunjukkan bahwa negara bayangan juga bisa membentuk diplomasi bawah tanah. Sebuah tatanan politik alternatif yang terus berkembang di balik konflik bersenjata dan krisis geopolitik dunia.
Fenomena proto-state sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah geopolitik dunia. Jika melihat ke abad ke-17 India, munculnya kekuatan Maratha di wilayah kekuasaan Kekaisaran Mughal juga bisa dipahami dalam kerangka proto-state. Pada masa itu, Kekaisaran Mughal memang merupakan otoritas politik terkuat di anak benua India, namun di wilayah pedalaman dan pegunungan Maharashtra, kontrol Mughal lemah. Kondisi ini dimanfaatkan oleh seorang bangsawan lokal bernama Shivaji Bhonsle untuk membangun kekuatan politik dan militer mandiri.
Pada awalnya, Maratha tidak diakui sebagai kerajaan independen oleh pusat kekuasaan Mughal di Delhi. Mereka hanya dipandang sebagai penguasa lokal yang memberontak terhadap kekuasaan imperial. Namun secara de facto, Shivaji berhasil menguasai sejumlah benteng strategis, memungut pajak, serta membentuk pasukan militer yang setia kepadanya. Sistem administrasi lokal dijalankan secara mandiri tanpa campur tangan otoritas pusat, mencerminkan karakteristik sebuah proto-state dalam konteks kerajaan feodal.
Maratha juga melakukan perjanjian dan aliansi dengan berbagai desa, pemimpin adat, dan kelompok bangsawan kecil di sekitar wilayah Maharashtra. Jejaring ini memungkinkan mereka membentuk struktur pemerintahan lokal yang berfungsi layaknya negara kecil, meskipun belum memiliki legitimasi formal sebagai kerajaan. Kehadiran milisi Maratha di berbagai wilayah hutan, perbukitan, dan desa terpencil membuat wilayah tersebut menjadi zona abu-abu dalam peta kekuasaan Mughal.
Dalam konteks ini, Maratha di abad ke-17 dapat dibandingkan dengan proto-state modern seperti Houthi di Yaman atau Al-Shabaab di Somalia. Baik Maratha maupun kelompok militan modern ini muncul dari situasi konflik dan kekosongan kekuasaan pusat. Keduanya memanfaatkan kelemahan pemerintahan formal untuk mendirikan pemerintahan alternatif di wilayah terbatas. Bedanya, Maratha berkembang di lingkungan kerajaan feodal, sementara proto-state modern berada di kawasan negara-negara modern yang mengalami disintegrasi politik.
Maratha juga melakukan praktik yang lazim dilakukan proto-state modern, yakni memungut pajak dari wilayah di luar kontrol langsung mereka. Praktik ini dikenal dengan istilah chauth dan sardeshmukhi, yang dipungut dari wilayah-wilayah yang secara resmi masih masuk dalam wilayah Mughal. Pajak ini menjadi sumber pendanaan utama bagi ekspansi militer dan administrasi Maratha, mirip dengan cara proto-state modern memungut pajak informal di wilayah konflik.
Selain itu, Maratha membangun kekuatan militer berbasis gerilya yang sangat efektif, menggunakan benteng perbukitan dan hutan sebagai basis pertahanan. Pola ini serupa dengan strategi Al-Shabaab di Somalia dan Houthi di Yaman, yang menguasai wilayah-wilayah pegunungan atau terpencil untuk bertahan dari serangan pasukan pemerintah. Dalam hal taktik militer, Maratha menunjukkan fleksibilitas yang kemudian menjadi ciri khas proto-state dalam sejarah.
Perbedaan utama antara Maratha dan proto-state modern seperti Houthi maupun Al-Shabaab terletak pada aspek legitimasi politik. Maratha, di bawah kepemimpinan Shivaji, akhirnya melakukan proses legitimasi formal melalui penobatan sebagai Chhatrapati atau raja pada 1674. Penobatan ini menjadikan Maratha berubah dari proto-state menjadi kerajaan penuh. Sementara proto-state modern cenderung terus berada dalam posisi ambigu, tak diakui internasional, dan lebih mengandalkan kekuatan militer ketimbang proses legitimasi simbolik.
Namun demikian, di masa awalnya, posisi Maratha di wilayah kekuasaan Mughal nyaris identik dengan kondisi proto-state modern. Mereka menguasai wilayah secara de facto, membentuk pemerintahan lokal, memungut pajak, mengelola militer, dan menjalin aliansi politik tanpa restu kekuasaan pusat. Bahkan, relasi Maratha dengan beberapa negara kecil di pesisir barat India kala itu dapat disejajarkan dengan relasi antar proto-state modern, meski dalam skala yang lebih terbatas.
Apa yang terjadi pada Maratha menunjukkan bahwa proto-state bukan sekadar fenomena kontemporer, melainkan bagian dari siklus geopolitik yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Di berbagai periode sejarah, ketika kekuasaan pusat melemah, akan selalu muncul kekuatan lokal yang mengisi kekosongan itu. Baik dalam bentuk milisi bersenjata modern, kelompok pemberontak, atau kerajaan kecil di masa lalu, pola kerja samanya memiliki kemiripan: membangun jaringan aliansi, memperkuat militer, dan mengatur wilayah secara mandiri.
Perbandingan antara proto-state Maratha di masa Mughal dan proto-state modern seperti Abkhazia, Donetsk, Houthi, dan Al-Shabaab memberikan gambaran bahwa dinamika politik bawah tanah seperti ini bersifat universal. Mereka mungkin berbeda dalam ideologi, agama, atau wilayah geografis, namun prinsip dasarnya sama: bertahan hidup, memperkuat posisi, dan membangun jaringan kekuasaan alternatif di luar kendali pemerintah pusat. Fenomena ini terus berulang sepanjang sejarah, dari perbukitan Maharashtra hingga lembah Donbas dan padang pasir Yaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar