Kelompok Bersenjata Baru Warnai Politik Myanmar - Simaninggir

Home Top Ad

Rabu, 25 Juni 2025

Kelompok Bersenjata Baru Warnai Politik Myanmar


Kondisi politik di Myanmar terus bergerak dinamis sejak kudeta militer Februari 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi. Di tengah represi junta, muncul berbagai kelompok perlawanan bersenjata, salah satunya adalah People’s Defense Force (PDF) yang menjadi sayap militer dari pemerintahan oposisi, National Unity Government (NUG). Meski demikian, perlawanan ini menghadapi persoalan serius soal koordinasi dan penyatuan kekuatan di lapangan.

Belakangan, kelompok baru bernama Burma National Revolutionary Army (BNRA) resmi dibentuk pada 9 September 2023 di bawah pimpinan Bo Nagar. BNRA hadir sebagai upaya menyatukan kekuatan bersenjata di wilayah mayoritas etnis Bamar, yang selama ini terpecah dalam berbagai kelompok kecil di sejumlah kawasan seperti Sagaing, Mandalay, dan Magway.

Keberadaan BNRA disebut sebagai langkah positif oleh sejumlah pengamat politik Myanmar. U Than Soe Naing, seorang analis politik, menyebut bahwa kehadiran angkatan bersenjata khusus etnis Burma merupakan perkembangan penting dalam perjuangan membentuk federasi demokratis yang menjamin kesetaraan bagi semua kelompok etnis di negara itu. Namun, tantangan penyatuan kekuatan tetap besar.

Diketahui bahwa BNRA saat ini terdiri dari 13 organisasi, di mana 11 di antaranya sudah membentuk brigade tempur. Meski demikian, masih ada kelompok-kelompok kecil lain yang belum berafiliasi langsung dengan BNRA maupun NUG. Fragmentasi kekuatan ini menjadi persoalan pelik dalam menghadapi junta yang memiliki struktur militer mapan dan senjata berat.

Bo Nagar menegaskan bahwa BNRA bukan organisasi separatis yang mengutamakan kepentingan kelompok sendiri. Ia mengaku telah berkoordinasi dengan NUG dan sejumlah kementerian terkait melalui rapat daring. BNRA juga menyusun rantai komando secara sistematis guna merangkul kelompok-kelompok bersenjata di kawasan etnis Burma.
Namun, muncul kekhawatiran apakah BNRA akan bertindak untuk kepentingan seluruh Myanmar atau hanya untuk etnis Bamar. Para analis politik mempertanyakan sejauh mana organisasi ini mampu menarik dukungan dari kelompok etnis lain yang selama ini memiliki pengalaman buruk akibat dominasi politik dan militer etnis mayoritas Burma.

Selain BNRA, saat ini juga ada Bamar People's Liberation Army (BPLA) yang berjuang di jalur bersenjata. Ditambah ratusan kelompok bersenjata lokal di berbagai daerah, lanskap perlawanan terhadap junta di Myanmar menjadi sangat terfragmentasi. Setiap organisasi memiliki agenda dan basis etnisnya masing-masing, menyulitkan koordinasi operasi bersama.

Pemerintahan oposisi NUG kini dituntut untuk mampu menyatukan berbagai kekuatan revolusioner ini. Tanpa kendali dan koordinasi terpadu, ancaman perpecahan di kalangan kelompok bersenjata bisa menjadi batu sandungan serius ketika junta berhasil digulingkan dan negara harus memasuki tahap transisi politik.

Sejumlah pengamat memperkirakan, seandainya junta tumbang dalam waktu dekat, tantangan terbesar Myanmar bukan lagi perang melawan militer, melainkan upaya menyatukan beragam kelompok bersenjata yang telah terbiasa bergerak secara otonom. Perselisihan kepentingan antar-etnis dan kepemimpinan bisa berujung konflik baru.

Di satu sisi, federasi berbasis etnis sebagaimana diinginkan beberapa kelompok bisa memberi solusi atas ketimpangan kekuasaan selama ini. Namun, di sisi lain, model ini berisiko memecah Myanmar menjadi negara-negara kecil berbasis etnis, jika tidak dikelola secara hati-hati dan adil oleh pemerintahan pasca-junta.

Pihak BNRA sendiri menyatakan siap membentuk tentara reguler dan terstandarisasi yang nantinya akan beroperasi di bawah komando Kementerian Pertahanan NUG. Dukungan dari Ethnic Armed Organizations (EAOs) yang selama ini menguasai sejumlah wilayah otonom juga menjadi faktor penting keberhasilan upaya ini.

Meski demikian, sebagian kelompok etnis bersenjata masih berhati-hati dalam merapat ke NUG atau BNRA. Mereka khawatir masa depan kepentingan etnis masing-masing akan kembali terpinggirkan jika kekuasaan kembali didominasi kelompok etnis mayoritas Burma. Hal ini membuat dinamika politik pasca-junta diperkirakan akan tetap panas.

Sagaing, Magway, dan Mandalay kini menjadi basis utama aktivitas BNRA. Di kawasan-kawasan tersebut, pertempuran sengit masih terus berlangsung antara pasukan junta dengan berbagai kelompok bersenjata rakyat. BNRA diharapkan bisa menyatukan kekuatan bersenjata di kawasan ini agar lebih efektif.

Di luar wilayah etnis Bamar, perlawanan bersenjata juga terus berkobar. Kelompok-kelompok etnis seperti Karen, Kachin, Shan, dan Chin mempertahankan wilayah otonomnya masing-masing. Jika koordinasi tidak segera dibenahi, dikhawatirkan konflik antar-kelompok ini akan muncul ketika junta tumbang.

Wacana tentang masa depan Myanmar setelah junta makin ramai dibicarakan. Sejumlah tokoh politik dan masyarakat sipil mengusulkan pembentukan pemerintahan federal berbasis regional dan etnis, namun tantangan teknis dan politisnya amat kompleks di negara yang sudah terpecah sejak lama.

Saat ini, NUG menghadapi tekanan dari komunitas internasional agar segera menyusun peta jalan rekonsiliasi nasional yang mencakup semua kelompok etnis dan bersenjata. Tanpa kerangka yang jelas, kemenangan atas junta bisa saja menghasilkan kekacauan baru yang justru memperpanjang penderitaan rakyat Myanmar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar